Thursday, September 18, 2014

Bintang Dari Masa Lalu

Kata orang, jarak bumi sama bintang itu sekitar 1000 tahun cahaya. Itu artinya, cahaya bintang yang menerangi kita saat ini adalah cahaya yang ada di 1000 tahun yang lalu tapi baru sampai kesini sekarang. Sampe disini, gue gak ngerti gue ngomong apa..

Intinya, bintang yang kita liat saat ini adalah bintang yang ada di seribu tahun yang lalu. Ada kemungkinan bintang itu sekarang sudah mati, atau meledak.

Hal itu terjadi dalam kehidupan gue, lebih tepatnya kehidupan asmara gue. Duh kok geli banget ya dengernya? Ngomong kata-kata ‘asmara' tuh berasa kaya mas-mas banget.

Lebih dari dua tahun yang lalu, ada sebuah bintang yang memberikan gue cahaya indah. Sama seperti bintang di langit sana, gue belum bisa merasakan cahaya itu. Atau mungkin dengan kata lain yang cukup bodoh, gue mengabaikan cahaya itu.

Gue mengabaikan cahaya itu. Gue mengabaikan perhatiannya, gue mematikan handphone gue ketika di PING!!!-PING!!!-in dia untuk membangunkan gue tidur agar gue siap-siap untuk sekolah. Gue inget hal itu terjadi setiap jam sembilan pagi. Gue pernah juga berpura-pura hape gue error agar bisa menghindar dari dia. Dan banyak lagi hal-hal lain untuk menolak cahaya itu.

Sekitar setahun kemudian. Ketika untuk pertama kalinya gue mencoba untuk sharing masalah gue ke dia, dia menanggapi gue dengan cara yang membuat gue tersentuh. Gue mulai merasakan cahaya itu. Cahaya yang begitu pas, hangat, dan menenangkan. Cahaya yang sangat cukup membuat gue terasa nyaman.

Semakin lama, cahaya itu semakin terang, membuat gue lupa diri, membuat gue banyak melakukan hal-hal bodoh, dan membuat gue banyak menyakiti bintang yang memberi gue cahaya itu. Karna mungkin gue merasa gue akan terus diterangi oleh cahaya itu.

Hingga waktunya tiba, hal yang sangat gue takutkan pun terjadi. Entah karena lelah atau karena memang sudah waktunya, cahaya dari bintang itu mati. Mati sama sekali. Benar-benar sudah tak ada lagi cahaya buat gue katanya. Dan gue, hanya bisa memohon di dalam penyesalan dan air mata.

Namun, sama seperti bintang di langit, cahaya itu masih terasa untuk hati gue sampai saat ini. Meskipun cahaya itu hanya berbentuk sebuah kenangan. Kenangan tentang perjuangan dia untuk memberikan cahaya itu. Ketika dia bela-belain dateng kerumah gue di saat hujan karna dia tahu gue sakit dan sendirian dirumah. Ketika dia rela gak ikut kegiatan di sekolahnya hanya untuk datang dan mengejutkan gue dengan kue ulang tahun pagi-pagi sekali di ulang tahun ke-17 gue meskipun dia tahu dia akan mendapat hukuman jika dia tidak datang ikut kegiatan di  sekolahnya. Dan kenangan-kenangan lainnya yang cukup untuk membuat gue tersenyum dengan airmata jika di ingat.

Ya, meskipun cahaya bintang itu mati, gue masih bisa merasakan cahaya itu. Dalam bentuk kenangan. Dan itu cukup untuk membuat gue hangat dan masih bertahan sampai saat ini. Cahaya itu, cahaya dari masa lalu.

Untuk bintang ku, terima kasih telah memberi ku cahaya itu, cahaya yang sangat aku butuhkan untuk bertahan hidup. Terima kasih atas kenangan-kenangan yang mampu membuatku tersenyum sendiri di manapun aku mengingatnya, entah itu di tengah-tengah semangatku di pagi hari, atau di lelahnya aku ketika aku pulang kerja. Meskipun aku berharap cahaya itu masih tersisa untuk ku, tapi aku berfikir lebih baik kamu memberikan cahaya itu dengan orang yang tepat. Yang mampu menghargaimu dengan cara yang kamu inginkan. Dan aku? Aku hanya bisa berharap cahaya itu mampu membuatku bertahan sampai aku tua nanti. Sampai semua cita-cita ku tercapai. Aku mungkin tak akan mencari cahaya lain. Cahaya yang kamu kasih sudah terlalu cukup.

Sekali lagi, dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang, aku ucapkan terima kasih untukmu, bintang dari masa lalu.

Monday, September 1, 2014

Wake Me Up When September Ends



September sudah datang.

Bulan ini diawali oleh berita duka. Tepat jam dua belas malam tadi, gue dikabarin kalo nene wafat. Hampir setahun gue gak ketemu sama nene. Padahal kemarin sore gue baru aja berencana mau ke rumahnya. Tapi gue selalu jadi gue, selalu 'telat'. Semoga amal ibadah nene di terima di-sisinya. Amin.

Ditopik lainnya, bulan ini adalah bulan penuh memori buat gue. Ini adalah bulan lahirnya bokap gue. Bulan ini pula gue jadian sama cinta pertama gue. Dan di bulan ini, Kak Iim meninggal.

Bulan ini juga bulan kelam buat Billie Joe Armstrong. Vokalis Greenday.

Tepat hari ini, di tahun 1982, Ayah dari Billie meninggal karena kanker. Waktu itu ia masih berumur 10 tahun. Pemakaman ayahnya terlalu menyakitkan bagi dia dan ia hancur dalam tangisan.  Ia meninggalkan pemakaman lebih dulu, berlari ke rumah dan mengunci dirinya di kamarnya. Ketika ibunya pulang dan mengetuk pintu kamarnya, Billie berteriak, "Wake me up when september ends" (Bangunkan aku di akhir september). Kata-kata itu tersimpan di dalam kepalanya dan akhirnya ia mencurahkan perasaannya lewat musik 20 tahun kemudian. itulah mengapa ia memasukan baris "Like my father's come to pass, 20 years has gone so fast". Dan coba deh kalian liat di youtube stiap ia menyanyikan lagu ini, ia tidak pernah senyum dan ada di salah satu konsernya ia menyanyikkan lagu ini sambil menangis.

Di setiap gue mendengar lagu ini, gue langsung flashback sama masa lalu gue, dimana ketika gue kecil yang hidup bahagia berlima bersama anggota keluarga gue. Hingga sekarang sudah pada memisahkan diri.masing-masing. Gue bahkan gak berhubungan sama sekali sama bokap-nyokap gue. Lagu ini juga mengingatkan gue tentang waktu yag begitu cepat, dan orang-orang yang berubah. Ketika dulu gue disuruh berjanji untuk tidak berubah, sekarang gue malah ditinggalkan karna gue tidak berubah dan justru orang tersebut yang berubah.

Entah apa yang terjadi dalam perjalanan hidup gue. gue masih belum mengerti.

------------------------------------------------------

Ketika tadi gue mendapat kabar tentang meninggalnya nene, gue gak bisa tidur dan banyak berfikir tentang kematian. Tiba-tiba gue teringat obrolan gue sama Alfiya beberapa bulan lalu.

"Jangan pernah jadi orang yang sombong. nanti kita mati juga ga bawa apa-apa selain pahala ibadah dan amal shaleh." Kata dia.

"Amal shaleh?" tanya gue heran.

"Iya, Ilmu yang bermanfaat."

"Maksud kamu?"

"Iya, jadi misalnya kamu mengajarkan orang lain sholat, nah di setiap orang itu sholat, kamu juga akan dapat pahala, sampai mati pun selama dia mengerjakan itu, pahala kamu akan terus bertambah. apalagi kalau orang itu mengamalkan untuk orang lain juga. Pahala kamu jadi makin banyak. Makanya aku mau jadi guru TK atau guru ngaji." jelas dia.

"oh gitu."

Gue gak nyangka dia bisa se-dewasa itu.

Dan gue makin berfikir lagi, apakah hidup ini seperti sebuah investasi? ketika kita menaruh saham/mengamalkan perbuatan baik, kita akan dapat untung ke depannya. Bagaimana jika sahamnya anjlok atau amal perbuatan kita ternyata salah? Kita akan rugi. Apa tuhan menciptakan kita dengan perjudian semacam ini?

Kalau untuk tujuan hidup, jawabannya ada di pedoman hidup gue di surat Adz-Dzariyaat ayat 56,

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56)

Gue percaya itu. Yang masih membuat gue bingung, kenapa Tuhan menciptakan gue? seseorang yang justru jarang beribadah, banyak melanggar larangan-nya dan suka cengengesan? Jika Tuhan menginginkan manusia beribadah kepadanya, mengapa tidak Ia ciptakan saja orang-orang yang taat beribadah? Rahasia apa yang Ia simpan? dan yang terpenting, Apa arti dari kehidupan ini?

Gue masih belum menemukan jawabannya.