Kata orang, jarak bumi sama bintang itu sekitar 1000 tahun cahaya. Itu artinya, cahaya bintang yang menerangi kita saat ini adalah cahaya yang ada di 1000 tahun yang lalu tapi baru sampai kesini sekarang. Sampe disini, gue gak ngerti gue ngomong apa..
Intinya, bintang yang kita liat saat ini adalah bintang yang ada di seribu tahun yang lalu. Ada kemungkinan bintang itu sekarang sudah mati, atau meledak.
Hal itu terjadi dalam kehidupan gue, lebih tepatnya kehidupan asmara gue. Duh kok geli banget ya dengernya? Ngomong kata-kata ‘asmara' tuh berasa kaya mas-mas banget.
Lebih dari dua tahun yang lalu, ada sebuah bintang yang memberikan gue cahaya indah. Sama seperti bintang di langit sana, gue belum bisa merasakan cahaya itu. Atau mungkin dengan kata lain yang cukup bodoh, gue mengabaikan cahaya itu.
Gue mengabaikan cahaya itu. Gue mengabaikan perhatiannya, gue mematikan handphone gue ketika di PING!!!-PING!!!-in dia untuk membangunkan gue tidur agar gue siap-siap untuk sekolah. Gue inget hal itu terjadi setiap jam sembilan pagi. Gue pernah juga berpura-pura hape gue error agar bisa menghindar dari dia. Dan banyak lagi hal-hal lain untuk menolak cahaya itu.
Sekitar setahun kemudian. Ketika untuk pertama kalinya gue mencoba untuk sharing masalah gue ke dia, dia menanggapi gue dengan cara yang membuat gue tersentuh. Gue mulai merasakan cahaya itu. Cahaya yang begitu pas, hangat, dan menenangkan. Cahaya yang sangat cukup membuat gue terasa nyaman.
Semakin lama, cahaya itu semakin terang, membuat gue lupa diri, membuat gue banyak melakukan hal-hal bodoh, dan membuat gue banyak menyakiti bintang yang memberi gue cahaya itu. Karna mungkin gue merasa gue akan terus diterangi oleh cahaya itu.
Hingga waktunya tiba, hal yang sangat gue takutkan pun terjadi. Entah karena lelah atau karena memang sudah waktunya, cahaya dari bintang itu mati. Mati sama sekali. Benar-benar sudah tak ada lagi cahaya buat gue katanya. Dan gue, hanya bisa memohon di dalam penyesalan dan air mata.
Namun, sama seperti bintang di langit, cahaya itu masih terasa untuk hati gue sampai saat ini. Meskipun cahaya itu hanya berbentuk sebuah kenangan. Kenangan tentang perjuangan dia untuk memberikan cahaya itu. Ketika dia bela-belain dateng kerumah gue di saat hujan karna dia tahu gue sakit dan sendirian dirumah. Ketika dia rela gak ikut kegiatan di sekolahnya hanya untuk datang dan mengejutkan gue dengan kue ulang tahun pagi-pagi sekali di ulang tahun ke-17 gue meskipun dia tahu dia akan mendapat hukuman jika dia tidak datang ikut kegiatan di sekolahnya. Dan kenangan-kenangan lainnya yang cukup untuk membuat gue tersenyum dengan airmata jika di ingat.
Ya, meskipun cahaya bintang itu mati, gue masih bisa merasakan cahaya itu. Dalam bentuk kenangan. Dan itu cukup untuk membuat gue hangat dan masih bertahan sampai saat ini. Cahaya itu, cahaya dari masa lalu.
Untuk bintang ku, terima kasih telah memberi ku cahaya itu, cahaya yang sangat aku butuhkan untuk bertahan hidup. Terima kasih atas kenangan-kenangan yang mampu membuatku tersenyum sendiri di manapun aku mengingatnya, entah itu di tengah-tengah semangatku di pagi hari, atau di lelahnya aku ketika aku pulang kerja. Meskipun aku berharap cahaya itu masih tersisa untuk ku, tapi aku berfikir lebih baik kamu memberikan cahaya itu dengan orang yang tepat. Yang mampu menghargaimu dengan cara yang kamu inginkan. Dan aku? Aku hanya bisa berharap cahaya itu mampu membuatku bertahan sampai aku tua nanti. Sampai semua cita-cita ku tercapai. Aku mungkin tak akan mencari cahaya lain. Cahaya yang kamu kasih sudah terlalu cukup.
Sekali lagi, dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang, aku ucapkan terima kasih untukmu, bintang dari masa lalu.