Monday, December 22, 2014
My Last Post.
Monday, November 10, 2014
Kepada Kamu, Dengan Penuh Kerinduan
Aku inget ketika pertama kali kita bertemu, ketika itu kau terlihat sayu, kurus dan pucat. Seketika itu pun aku sadar, kalau kamu ada masalah dengan hatimu.
Aku ingat waktu pertama kali aku menanyakan siapa namamu, nama yang terasa sangat asing hingga sulit untuk aku ingat. Namun sekarang, dua kata itu sudah terlalu sulit untuk aku lupakan.
Aku ingat ketika kita membeli batik couple untuk kita pakai di hari jum'at disaat PKL. Namun ketika kita datang ke sekolahku dengan menggunakan batik itu, ternyata guru-guru di sekolahku memakai batik dengan corak yang sama.
Aku ingat hal-hal bodoh yang kita lakukan, seperti ketika waktu kita sekolah dulu, kita tidak boleh berkomunikasi dengan lawan jenis lainnya, selalu ada sumpah atas nama tuhan di setiap malam, dan aku pun sekarang sadar itu hal terbodoh yang pernah kita lakukan, kamu pun setuju kan?
Aku rindu masa-masa kita bersama. Ketika kita menghabiskan waktu hanya untuk berbincang-bincang di ruang belakang rumah tante ku, atau menonton dvd di rumah ibu ku.
Ketika kita tetap memaksa saling bercengkrama meskipun hari sedang terik, atau ketika aku tertidur di paha mu disaat hujan deras.
Aku rindu masa-masa kita bersama. Aku rindu disetiap detiknya ketika kau mengurusku dikala aku sedang sakit. Kau mengobati ku, menyuapi aku makan, dan memanjakan ku. Rasanya seperti aku ingin terus merasakan sakit asal kamu tetap memanjakan ku seperti ini. Bahkan kau pun tak segan memelukku tanpa khawatir tertular. “Tubuh aku mah kuat." Kata kamu disetiap aku takut kamu tertular.
Aku rindu masa-masa kita bersama. Terlebih masa kita sekolah dulu. Ketika aku dapat kabar kamu pingsan, lalu aku izin di tengah pelajaran agar bisa menghampiri kamu di sekolahmu. Dan ternyata kamu hanya berbohong, kamu malah cengengesan ketika melihat muka ku panik di depan gerbang sekolah mu. Lalu aku kembali kesekolahku meski aku harus basah kuyub karena hujan deras. Hujan terkonyol yang pernah aku rasakan.
Sekarang semua telah berbeda, tak ada lagi ucapan selamat pagi darimu. Setiap film yang aku tonton di bioskop terasa beda karena tak ada kamu tempatku bersandar. Lagu “Just give me a reason" yang ku nyanyinkan tak akan pernah terasa sama karena tidak ada lagi suara cempreng mu di dalamnya.
Dan masih banyak lagi kenangan-kenangan yang terekam dan terputar di otak ku hingga aku tidak tidur semalaman. 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar, sayang. Cukup banyak memori kita yang membuat ku tersenyum dan menangis disaat bersamaan. Membuat aku tersadar, bahwa aku rindu kamu. Atau dengan kata lain yang lebih menyedihkan....
Aku rindu kita.
Thursday, November 6, 2014
Tentang Sebuah Perpindahan Bagian Terakhir
Yap, jadi udah beberapa hari ini gue akhirnya pindah ke tempat yang baru, gue di tempatkan di Pasific Place. Disitu gak enak, tempatnya sepi, teman-temannya cuma sedikit, dan teman-teman gue disitu rata-rata umurnya udah 25an keatas, jadi udah pada tua, jadi gak terlalu nyambung untuk bercanda. Tentu hal ini sangat membuat gue gak nyaman dan bikin gue malas untuk berkembang. Tapi karena ini tuntutan dan gue dibayar, mau gak mau harus gue ikutin. Dan kata Zahra pun, “Apapun yang dipilih, jalanin." Oke gue bakal jalanin. Lagipula ini masih seperti pindah hati kok. Ketika kita berkenalan dengan orang baru pasti kita akan membanding-bandingkan dia dengan mantan kita. Ingat kasus Dini kan? Kalau ada yang belum tahu tentang Dini, klik disini. Btw, tuh anak kabarnya gimana ya?
Kalau untuk soal pindah hati? Ya semenjak putus itu gue langsung kehilangan arah karena memang gue gak punya siapa-siapa lagi. Seperti yang kalian tahu gue jauh dari orang tua maupun saudara-saudara gue. Seorang teman pernah menyarankan untuk mencari pasangan lagi. Dan perjalanan mencari pasangan ini cukup panjang buat gue. Banyak teman-teman gue yang mengenalkan gue kepada teman-temannya yang jomblo. Dan entah karena trauma atau apa, gue pun jadi insecure dan jadi pilih-pilih yang ciri-cirinya jauh dari mantan gue itu. Ketika gue ingin dikenalkan kepada cewek yang berkerudung, gue menolak. Ketika dikenalkan dengan yang pendek dan sekal, gue menolak. Ketika gue dikenalin sama yang jenggotnya sampai leher, gue juga menolak.
Dan sayangnya, cewek-cewek yang gue suka justru malah gak tertarik sama gue. Dan entah kenapa cewek-cewek yang tertarik sama gue ini malah cewek-cewek yang aneh. Gue bukannya menarik perhatian cewek-cewek yang cantik, malah yang dateng cewek-cewek yang aneh, dari yang bau kaki sampai yang mukanya kayak kaki. Pernah baru-baru ini gue deket sama seorang cewek cantik, orangnya aktif dan selalu ngegodain gue. Tapi ternyata baru-baru ini gue baru tahu dia udah punya anak. Iya dia nikah muda dan lagi renggang sama suaminya, ya namanya bocah. Dan ini beneran. Kalo udah begini gue putar balik bubar jalan. Gue bukan tipe orang yang suka ngerebut kebahagiaan orang lain demi kebahagiaan sendiri, kalo gue begitu gue sama aja kayak anjing yang ngerebut kebahagiaan gue itu. Dan masih banyak cewek-cewek yang dekat sama gue namun gue masih belum merasa nyaman untuk terlalu serius. Nampaknya, hukum banding dengan mantan masih tertanam di otak gue. Hingga akhirnya, Lita bilang sama gue, “Jangan terlalu keras sama diri sendiri, perbaikin diri aja dulu."
“Iya sih, gue rasa gue cuma butuh orang yang bener-bener ada disamping gue aja, gue bener-bener gak punya siapa-siapa sekarang." Jawab gue. “Tapi ada seseorang yang lagi bener-bener gue perjuangin Ta. Gue tahu ini gak bakal mungkin dan meskipun mungkin gue harus berjuang bertahun-tahun. Gak tahu kenapa, keinginan gue kali ini gue besar banget." Lanjut gue.
“Ya seperti yang lo bilang Ra, “Perjuangun apa yang lo rasa pantes untuk lo perjuangin"." Balas Lita.
Gue cuma diam dan sedikit tersenyum.
Berbicara tentang kepindahan, dalam hidup kita pasti akan menemui kepindahan-kepindahan entah itu hal yang besar ataupun hanya kepindahan-kepindahan kecil.
Seperti dulu ketika gue masih kecil, gue sering berpindah, yang tadinya gue tidur bersama orang tua gue hingga akhirnya gue pindah tidur sama abang gue, dari yang tadinya gue hanya bermain bersama Haekal sahabat gue hingga akhirnya kami bergabung dengan anak-anak lainnya, kemudian gue pindah-pindah rumah, orang baru, lingkungan baru, kebiasaan baru.
Lalu kepindahan sekolah, dari SD ke SMP lalu ke SMP lainnya dan ke SMK, teman-teman baru, sahabat baru, genk-genk baru, cara bercandaan baru. Kepindahan anggota keluarga, ketika keluarga gue mulai saling memisahkan diri masing-masing ketika perasaan dan fikiran mereka mulai berpindah tujuan.
Dan banyak perpindahan-perpindahan yang ada di diri gue seperti perpindahan cita-cita gue yang tadinya mau jadi Superman lalu karena kebanyakan main counter strike gue pengen jadi teroris, kemudian pengen jadi DJ, koki, atau pelaut yang bisa keliling dunia dan tak perlu menikah karena gue bisa bertemu cewek di setiap tempat gue berlabuh, kemudian menjadi pemain band, manajer sepakbola, dan sekarang cita-cita yang lebih sederhana seperti penulis, sutradara dan (tetep) pemain band. Kemudian perpindahan hati dari satu cewek ke cewek lainnya, dari perasaan biasa-biasa aja pindah menjadi perasaan sayang dan kemudian pindah menjadi perasaan ingin melindungi. Dan masih banyak lagi perpindahan-perpindahan kecil seperti perpindahan gaya rambut, cara berpakaian, genre musik, dan banyak lagi yang bikin gue makin sadar bahwa kita sebagai manusia pasti akan pindah. Tergantung kita berani untuk menghadapinya atau tidak. Meninggalkan zona nyaman kita ke ruang kosong yang baru, yang kita belum tahu seperti apa nantinya. Dan satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah menerima.
Fajar mulai menyingsing, ayam mulai berkokok, lampu-lampu pun mulai dimatikan, gue kembali meminum secangkir cokelat panas, memindahkannya dari cangkir kemulut gue, kemudian pindah dan menghangatkan tenggorokan gue sebelum di proses di dalam perut gue. Matahari mulai menyingsing, berpindah kembali menyinari Indonesia setelah pergi untuk menyinari negeri lain. Embun pun mulai terjadi, dari zat gas berpindah ke zat cair, lalu membasahi dahi gue beberapa detik lalu menghilang. Tak beberapa lama, gue dikejutkan oleh rintik-rintik hujan kecil. Siklus perpindahan yang rumit ketika air laut menguap menjadi awan di langit biru kemudian awan berpindah tertiup angin menuju langit lainnya, lalu mengembun menjadi hujan. Gue kembali melihat langit yang berwarna abu-abu ini, kemudian tersenyum. Sepertinya gue hanya perlu mencari kebahagiaan-kebahagiaan kecil diantara perpindahan-perpindahan ini.
Monday, October 27, 2014
Tentang Sebuah Perpindahan Bagian Pertama
Friday, October 17, 2014
Jatuh Cinta Diam-diam
Dan hari-hari berikutnya, gue makin sering berpapasan sama dia, entah dia lagi sendirian atau pun sama temannya. Dia selalu senyum kalau ketemu gue, tapi gue gak pernah bales senyumnya. Bukan karna gue sombong, tapi otak gue yang selalu lupa cara mengontrol tubuh gue kalo ada di depan dia. Pernah suatu hari gue lagi main pelet-peletan sama anak kecil, maen pelet-peletan disini bukan berarti gue melet anak kecil biar suka sama gue dengan cara naburin bunga di sekitar rumahnya loh, ini melet yang bercanda-canda julurin lidah gitu. Ngerti kan? Oke ulang. Jadi gue lagi maen pelet-peletan gitu, eh ternyata gue diliatin ama Dara daritadi sambil senyum-senyum ngeledek gitu. Gue langsung buang muka dan kabur. Bener-bener ngerasa ini yang cewek siapa yang cowok siapa. Pernah juga suatu hari ketika gue lagi di lift sendirian, tiba-tiba dia juga masuk. Dalam hati gue ngerasa ini adalah momen sempurna untuk kenalan, tapi sayangnya otak gue berubah jadi pengecut profesional. Gue cuma bisa diam dengan jantung yang hampir berhenti berdetak. Jangankan mau nyapa atau apa, di senyumin aja gue rasanya pengen pipis di celana...
Thursday, September 18, 2014
Bintang Dari Masa Lalu
Kata orang, jarak bumi sama bintang itu sekitar 1000 tahun cahaya. Itu artinya, cahaya bintang yang menerangi kita saat ini adalah cahaya yang ada di 1000 tahun yang lalu tapi baru sampai kesini sekarang. Sampe disini, gue gak ngerti gue ngomong apa..
Intinya, bintang yang kita liat saat ini adalah bintang yang ada di seribu tahun yang lalu. Ada kemungkinan bintang itu sekarang sudah mati, atau meledak.
Hal itu terjadi dalam kehidupan gue, lebih tepatnya kehidupan asmara gue. Duh kok geli banget ya dengernya? Ngomong kata-kata ‘asmara' tuh berasa kaya mas-mas banget.
Lebih dari dua tahun yang lalu, ada sebuah bintang yang memberikan gue cahaya indah. Sama seperti bintang di langit sana, gue belum bisa merasakan cahaya itu. Atau mungkin dengan kata lain yang cukup bodoh, gue mengabaikan cahaya itu.
Gue mengabaikan cahaya itu. Gue mengabaikan perhatiannya, gue mematikan handphone gue ketika di PING!!!-PING!!!-in dia untuk membangunkan gue tidur agar gue siap-siap untuk sekolah. Gue inget hal itu terjadi setiap jam sembilan pagi. Gue pernah juga berpura-pura hape gue error agar bisa menghindar dari dia. Dan banyak lagi hal-hal lain untuk menolak cahaya itu.
Sekitar setahun kemudian. Ketika untuk pertama kalinya gue mencoba untuk sharing masalah gue ke dia, dia menanggapi gue dengan cara yang membuat gue tersentuh. Gue mulai merasakan cahaya itu. Cahaya yang begitu pas, hangat, dan menenangkan. Cahaya yang sangat cukup membuat gue terasa nyaman.
Semakin lama, cahaya itu semakin terang, membuat gue lupa diri, membuat gue banyak melakukan hal-hal bodoh, dan membuat gue banyak menyakiti bintang yang memberi gue cahaya itu. Karna mungkin gue merasa gue akan terus diterangi oleh cahaya itu.
Hingga waktunya tiba, hal yang sangat gue takutkan pun terjadi. Entah karena lelah atau karena memang sudah waktunya, cahaya dari bintang itu mati. Mati sama sekali. Benar-benar sudah tak ada lagi cahaya buat gue katanya. Dan gue, hanya bisa memohon di dalam penyesalan dan air mata.
Namun, sama seperti bintang di langit, cahaya itu masih terasa untuk hati gue sampai saat ini. Meskipun cahaya itu hanya berbentuk sebuah kenangan. Kenangan tentang perjuangan dia untuk memberikan cahaya itu. Ketika dia bela-belain dateng kerumah gue di saat hujan karna dia tahu gue sakit dan sendirian dirumah. Ketika dia rela gak ikut kegiatan di sekolahnya hanya untuk datang dan mengejutkan gue dengan kue ulang tahun pagi-pagi sekali di ulang tahun ke-17 gue meskipun dia tahu dia akan mendapat hukuman jika dia tidak datang ikut kegiatan di sekolahnya. Dan kenangan-kenangan lainnya yang cukup untuk membuat gue tersenyum dengan airmata jika di ingat.
Ya, meskipun cahaya bintang itu mati, gue masih bisa merasakan cahaya itu. Dalam bentuk kenangan. Dan itu cukup untuk membuat gue hangat dan masih bertahan sampai saat ini. Cahaya itu, cahaya dari masa lalu.
Untuk bintang ku, terima kasih telah memberi ku cahaya itu, cahaya yang sangat aku butuhkan untuk bertahan hidup. Terima kasih atas kenangan-kenangan yang mampu membuatku tersenyum sendiri di manapun aku mengingatnya, entah itu di tengah-tengah semangatku di pagi hari, atau di lelahnya aku ketika aku pulang kerja. Meskipun aku berharap cahaya itu masih tersisa untuk ku, tapi aku berfikir lebih baik kamu memberikan cahaya itu dengan orang yang tepat. Yang mampu menghargaimu dengan cara yang kamu inginkan. Dan aku? Aku hanya bisa berharap cahaya itu mampu membuatku bertahan sampai aku tua nanti. Sampai semua cita-cita ku tercapai. Aku mungkin tak akan mencari cahaya lain. Cahaya yang kamu kasih sudah terlalu cukup.
Sekali lagi, dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang, aku ucapkan terima kasih untukmu, bintang dari masa lalu.
Monday, September 1, 2014
Wake Me Up When September Ends
September sudah datang.
Bulan ini diawali oleh berita duka. Tepat jam dua belas malam tadi, gue dikabarin kalo nene wafat. Hampir setahun gue gak ketemu sama nene. Padahal kemarin sore gue baru aja berencana mau ke rumahnya. Tapi gue selalu jadi gue, selalu 'telat'. Semoga amal ibadah nene di terima di-sisinya. Amin.
Ditopik lainnya, bulan ini adalah bulan penuh memori buat gue. Ini adalah bulan lahirnya bokap gue. Bulan ini pula gue jadian sama cinta pertama gue. Dan di bulan ini, Kak Iim meninggal.
Bulan ini juga bulan kelam buat Billie Joe Armstrong. Vokalis Greenday.
Tepat hari ini, di tahun 1982, Ayah dari Billie meninggal karena kanker. Waktu itu ia masih berumur 10 tahun. Pemakaman ayahnya terlalu menyakitkan bagi dia dan ia hancur dalam tangisan. Ia meninggalkan pemakaman lebih dulu, berlari ke rumah dan mengunci dirinya di kamarnya. Ketika ibunya pulang dan mengetuk pintu kamarnya, Billie berteriak, "Wake me up when september ends" (Bangunkan aku di akhir september). Kata-kata itu tersimpan di dalam kepalanya dan akhirnya ia mencurahkan perasaannya lewat musik 20 tahun kemudian. itulah mengapa ia memasukan baris "Like my father's come to pass, 20 years has gone so fast". Dan coba deh kalian liat di youtube stiap ia menyanyikan lagu ini, ia tidak pernah senyum dan ada di salah satu konsernya ia menyanyikkan lagu ini sambil menangis.
Di setiap gue mendengar lagu ini, gue langsung flashback sama masa lalu gue, dimana ketika gue kecil yang hidup bahagia berlima bersama anggota keluarga gue. Hingga sekarang sudah pada memisahkan diri.masing-masing. Gue bahkan gak berhubungan sama sekali sama bokap-nyokap gue. Lagu ini juga mengingatkan gue tentang waktu yag begitu cepat, dan orang-orang yang berubah. Ketika dulu gue disuruh berjanji untuk tidak berubah, sekarang gue malah ditinggalkan karna gue tidak berubah dan justru orang tersebut yang berubah.
Entah apa yang terjadi dalam perjalanan hidup gue. gue masih belum mengerti.
------------------------------------------------------
Ketika tadi gue mendapat kabar tentang meninggalnya nene, gue gak bisa tidur dan banyak berfikir tentang kematian. Tiba-tiba gue teringat obrolan gue sama Alfiya beberapa bulan lalu.
"Jangan pernah jadi orang yang sombong. nanti kita mati juga ga bawa apa-apa selain pahala ibadah dan amal shaleh." Kata dia.
"Amal shaleh?" tanya gue heran.
"Iya, Ilmu yang bermanfaat."
"Maksud kamu?"
"Iya, jadi misalnya kamu mengajarkan orang lain sholat, nah di setiap orang itu sholat, kamu juga akan dapat pahala, sampai mati pun selama dia mengerjakan itu, pahala kamu akan terus bertambah. apalagi kalau orang itu mengamalkan untuk orang lain juga. Pahala kamu jadi makin banyak. Makanya aku mau jadi guru TK atau guru ngaji." jelas dia.
"oh gitu."
Gue gak nyangka dia bisa se-dewasa itu.
Dan gue makin berfikir lagi, apakah hidup ini seperti sebuah investasi? ketika kita menaruh saham/mengamalkan perbuatan baik, kita akan dapat untung ke depannya. Bagaimana jika sahamnya anjlok atau amal perbuatan kita ternyata salah? Kita akan rugi. Apa tuhan menciptakan kita dengan perjudian semacam ini?
Kalau untuk tujuan hidup, jawabannya ada di pedoman hidup gue di surat Adz-Dzariyaat ayat 56,
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56)
Gue percaya itu. Yang masih membuat gue bingung, kenapa Tuhan menciptakan gue? seseorang yang justru jarang beribadah, banyak melanggar larangan-nya dan suka cengengesan? Jika Tuhan menginginkan manusia beribadah kepadanya, mengapa tidak Ia ciptakan saja orang-orang yang taat beribadah? Rahasia apa yang Ia simpan? dan yang terpenting, Apa arti dari kehidupan ini?
Gue masih belum menemukan jawabannya.
Sunday, August 10, 2014
Cerita Bodoh Seseorang yang Gagal Move On
SATU
Jadi seperti yang kalian tahu, beberapa bulan lalu gue putus sama Alfiya, dan gue galau banget. Mungkin keliatan lebay, tapi kalian coba rasain sendiri ketika kita putus sama pasangan kita yang udah terjalin 3 tahun kurang, dan itu salah kita. Gue waktu itu bener-bener galau banget.
Dan semenjak gue galau itu gue mulai peka sama banyak hal, contoh; ketika gue setel tivi, gue nonton film Cinta Dalam Kardus yang ada di KompasTV waktu itu, gue jadi mikir, ‘duh, ini kok gue banget ya.’ Kemudian karna gak kuat gue ganti ke SCTV gue nonton FTV, dan gue pun mikir lagi, ‘aduh, ini kok gue banget ya.’ Sambil bercucuran air mata, gue ganti channel RCTI yang lagi memainkan sinetron Catatan Hati Seorang Istri, gue tonton sebentar dan gue pun berfikir lagi, ‘aduh, ini kok geli banget ya.'
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
DUA
Dan putus-nya hubungan gue itu pun diketahuin oleh keluarga gue.
Jadi waktu itu abis shalat isya, gue kerumah nenek gue dengan langkah gontai, nunduk sambil ngerokok. Mungkin kalo ada yang ngeliat gue saat itu dia bakal mikir, ‘ini siapa yang naroh jeroan sapi ditengah jalan?'
Ketika gue nyampe rumah nenek gue, disitu ada nyokap gue, tante gue, tante gue lagi, sama suaminya lagi ngobrol di teras. Dan kita pun banyak ngobrol-ngobrol disitu, dari ngomongin kerjaan, ngomongin tukang jamu, sampe ngomongin kerjaan-nya tukang jamu (Ya jualan jamu lah!). Emang obrolan keluarga gue gaada yang bermutu.
Hingga akhirnya, entar ada angin dari lurah mana, nyokap gue bertanya, ‘Pia kmana? Mamah ga pernah ketemu dia lagi.'
DEG!
‘Udah putus mah.' Jawab gue (Berusaha) kalem.
‘Loh kok bisa?' Tanya nyokap gue.
‘Iya, gak cocok' kata gue lemas.
‘udah?’ tanya nyokap gue lagi.
‘udah.'
Nyokap gue diem, dia mungkin butuh jawaban lain yang lebih dramatis kaya di tivi-tivi seperti, ‘Dia udah tahu, kalau Ara jualan bakso tikus.'
Dia nanya lagi, ‘Ini pasti salah kamu ya?'
‘Mungkin,' Jawab gue. ‘Mungkin juga dia yang salah. Atau kita sama-sama salah'.
Kemudian keluarga gue mulai mojok-mojokin gue. Menyalahkan apa yang terjadi atas hubungan gue yang kandas. Hal ini justru memperkeruh suasana hati gue, ini keluarga gue bukannya membuat gue semangat, malah bikin gue makin merasa bersalah. Ini sebenernya gue anak siapaa?! Gue berencana buat nyumpel mulut nyokap gue pake tusuk sate sambil teriak, ‘DIAM KAU ORANG TUA!'
Tapi niat itu gue urungkan karena tukang sate di depan rumah gue lagi mudik.
Saat itu, melihat gue diem aja, Om gue bilang, ‘Udah santai aja, Masih banyak ikan di laut.'
‘Ikan di laut emang banyak,' balas gue. ‘Tapi gak ada lagi ikan yang se-pengertian ini.'
Suasana mendadak galau.
Nyokap gue mencoba memecah suasana dengan bilang, ‘Ini kandang ayam kalau di cat merah bagus kali ya?'
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
TIGA
‘Blind date?' Tanya gue setengah kaget ke Raden.
‘Iye, udah nurut. Kasian gue ngeliat lo mukanya kusut tiap hari. Liat RU, isinya galau semua.' Kata Raden.
‘Tenang, semua udah gue atur. Lo tinggal dateng, ketemu, saling kenal, cocok-cocokan, dan kalo lanjut.... lo pacaran.'
‘Gak semudah itu bang.' Kata gue malas.
‘Tenang, semua gue yang atur. Lo terima beres.' Dia pegang pundak gue dan natap mata gue dalam-dalam. ‘Semua pasti akan baik-baik saja. Percayalah.'
Hening.
‘Tapi kalo gue gasuka gimana?' Tanya gue lagi dengan masih merasa malas.
‘Gak mungkin lo gak suka, kalo dia gak suka sama lo, Itu mungkin.' Kata dia kalem.
Gue manyun, terus bilang, ‘Tapi gue kan gak mau cari jodoh, bang. Gue cuma gak bisa move on.'
‘Justru itu!' Tegas dia. ‘Mau sampe kapan lo begini terus? Lo mau kalo nanti lo udah di kursi roda, rambut lo udah putih dan lo masih nungguin mantan lo sampe malaikat maut kasian mau cabut nyawa lo dan akhirnya lo dibiarin sama malaikat maut dan kulit lo mulai rontok ke tanah, gak punya istri apalagi anak yang ngurusin lo.'
‘Oke bang, kapan ketemuannya?'
‘Sabar.'
Besoknya gue di bbm sama bang Raden kalo gue bakal ketemuan di KFC Bulungan.
‘Namanya Dini (Nama disamarkan)' kata bang Raden.
‘Cakep?' Tanya gue.
‘Relatif. Liat besok.' jawab dia.
Sebenernya gue males buat ketemuan, cuma karna gaenak sama temen gue ini, gue coba buat jalanin aja dulu. Lagipula, kalo soal tampang, gue yakin sih cakep. Gue kenal bang Raden, dia anaknya keren, gayanya metropolitan, dan dia kuliah juga. Pasti kenal banyak cewe cantik. Ohiya, buat yang belum tahu blind date. Itu tuh semacam kencan buta gitu. Jadi kita udah direncanain sama teman kita buat ketemuan sama cewek yang sama sekali tidak kita kenal (dan dia juga tidak kenal kita), kita cuma boleh tahu nama dan baju yang dia pakai saat ketemuan. Nanti kita disuruh kenalan sendiri sama cewek itu. Ini bener-bener kayak orang zaman dulu deh. Klasik.
Esoknya jam 9 pagi gue di Bbm bang Raden. Untuk ketemuan jam 3 di KFC Bulungan. Gue mengiyakan.
‘Minta ciri-ciri lo.' Bang Raden Bbm gue lg disaat gue mau berangkat.
‘Ciri-ciri? hmm...' Gue sedikit bingung. ‘Nama gue Batara Sedana, lahir di Jakarta, Zodiak gue Cancer.'
‘Bukan itu, goblok. Baju yang lo pake hari ini.'
'Oh,' respon gue. ‘Kaos putih, jaket biru donker, jeans biru.'
‘Lo yakin mau pake itu?' Dia melanjutkan, ‘Ini First Date loh ra, kesan pertama itu penting banget buat nanti kedepannya, kesan pertama lo jelek, meskipun pas ketemu lagi lo bagus, dia bakal ngeliat lo tetep jelek karna kesan pertama lo itu!'
‘Terus? Yaudah bang, kalo dia suka ya syukur, kalo engga ya bagus.'
‘Tapi seenggaknya enak di liat lah, ra.'
Gue liat ke kaca, gue emang keliatan gembel sih. Mungkin kalo menurut gue ini keliatan casual, tapi menurut orang-orang yang ngeliat gue, gue keliatan kasian. Dan juga gue mikir meskipun gue mungkin gak tertarik sama pertemuan ini, tapi seenggaknya gue harus ngehormatin dia sebagai wanita. Mungkin dia juga udah dandan cantik menghabiskan waktu 2 jam sendiri buat ketemu gue. Dan juga gue gak enak sama bang Raden yang udah “maksa” gue buat move on. Belum pernah ada cowok yang seribet ini sama gue. Akhirnya gue bales Bbm bang Raden.
‘Oke gue pake kemeja coklat, dia gimana?'
‘Dia pake sweeter Angry Bird merah dan jeans biru.' Kata bang Raden.
‘Lo nyuruh gue formal, tapi dia penampilannya begitu?' Kata gue sewot. ‘Gue udah kaya mau ngelamar kerja tau gak?'
‘Hehe, yaudah gak usah ganti baju. Dia udah jalan dari tadi. Jangan ngaret.'
‘Okee.'
Gue mulai jalan, dan jalanan bener-bener lancar karena dua hari lagi lebaran. Setelah gue sampe KFC Bulungan. Gue celingak-celinguk. Dan gue menemukan sosok wanita dengan ciri-ciri yang sama dikasih tau oleh bang Raden sedang duduk didepan laptop sambil minum soft drink. Gue samperin dia, ‘Dini?' Dia mengangkat kepalanya, matanya menatap mata gue.
‘Tara?'
Gue bengong. Dia anaknya biasa. Seumuran gue. Tapi manis, rambutnya hitam panjang, mukanya rada-rada kebule-bulean gitu. Senyumnya manis dan dia makin keliatan lebih lucu dengan hoodie AngryBird yang kebesaran itu. Warna merahnya pas banget sama kulit putihnya. Pertanyaan selanjutnya, Dia mau gak sama gue?
‘Yap, Gue boleh duduk?'
‘Oh iya duduk aja, masa mau berdiri terus? Hehe...' kata dia sambil menutup laptop-nya.
‘Udah lama nunggu? Sorry ya rada telat, naek bis.' Kata gue.
‘Engga ko. Ohiya maaf ya aku lagi ga puasa, biasa cewek. Hehe...'
‘Santai ajaa, udah makan?' Tanya gue.
‘Belom, kan nungguin kamu.'
‘Oh gitu, kalo laper pesen aja duluan gapapa. Mau aku yang pesen?' Kata gue menawarkan diri.
‘Gak usah, Tar, bareng aja. Aku juga belom laper, kok.'
‘Baiklah.'
Obrolan berlanjut panjang dan seru. Dan dari obrolan itu gue mulai tahu kalau Dini ini adalah teman dari pacarnya bang Raden. Dan gue jadi tahu kalo dia tipe orang yang lebih seneng dirumah baca buku dan bukan nonton tivi. Dan dia memberi tahu gue kalo dia suka Jogging, musik pop, dan teori konspirasi. Dan gue juga memberi tahu kalo gue suka futsal, musik rock, dan komedi. Dari dia gue juga tau kalau dia mau kuliah tapi belum bisa tahun ini. Dan dia kerja jadi admin di suatu perusahaan dealer mobil. Dari sini juga gue jadi tahu kalau bokapnya keturunan Jerman. Jelas ini perbedaan yang sangat signifikan: Muka dia setengah bule, sedangkan muka gue setengah manusia.
Kita ngobrol hingga akhirnya kita lupa waktu. Udah Adzan magrib tapi kita belum pesan makanan. Ini menandakan kalau kencan pertama gue berhasil. Akhirnya setelah memesan makanan kita makan dengan khusyuk. Cukup lama kita terdiam, lucu juga ngeliat cewek pake sweeter kegedean. Tapi entah kenapa, meski gak ada hubungannya, gue jadi keinget Alfiya.
Ini yang gue benci. Setiap gue kenal sama cewek dan udah merasa nyambung, ntah kenapa gue jadi kepikiran Alfiya dan hingga akhirnya gue membanding-bandingkan cewek yang baru gue kenal dengan Pia, dan selalu berakhir sama: Dia tidak sebaik Alfiya.
Dalam kasus ini, gue membandingkan Alfiya dengan Dini. Dari cara kita makan, dari obrolan apa yang kita omongin, dari senyum malu-malunya, semua terlihat beda. Justru hal-hal kecil yang biasa Alfiya lakukan malah menjadi pengaruh besar buat gue. Seperti ketika kita makan di KFC, gue pasti memesan dada dan dia memesan paha bawah. Dia pasti menyisihkan kulit ayamnya buat gue, sedangkan gue menyisihkan tulang muda buat dia. Kemudian cara dia nyuapin gue, bersihin mulut gue yang belepotan, atau bantuin gue cuci tangan. Mungkin emang Pia suka ketuker antara bayi sama pacar.
Jadi, hal-hal seperti inilah yang bikin gue stuck gini-gini aja. Jadi ini yang dimaksud, “terjebak di masa lalu".
‘Kamu kenapa?' Dini membuyarkan lamunan gue.
‘Kenapa apa?' Tanya gue.
‘Kaya orang banyak fikiran gitu.'
‘hehe masa sih? Gapapa kok,'
‘You sure?' Tanya dia.
Gue jawab dia dengan senyuman.
Kemudian kami saling membuka obrolan lagi. Gue sebenernya seneng memperhatikan dan menganalisa kepribadian orang, dan dari situ gue bisa tahu kalo dia memang suka membaca buku. Dari cara dia berbicara, dari apa yang dibicarakan, dia emang terlihat smart dan cara dia tertarik dengan pembicaraan kami itu seolah dia memang butuh teman yang selama ini dia tidak dapatkan. Entahlah, gue gak tahu latar belakang dia yang sebenarnya.
Kembali, gue kembali teringat Alfiya. Teringat cara bicara-nya yang manis ketika lagi gelendotan, cara bicara-nya yang menggemaskan ketika dia marah. Mimik serius-nya ketika dia memberi gue nasehat. Dan gue ngerasa down banget mengingat itu semua hanya tinggal kenangan. Gue mulai gak nyaman disini. Gue mau pulang.
‘Eh, Din.' Kata gue ketika kita sedang terdiam untuk mencari topik obrolan selanjutnya.
‘Iya, Tar?'
‘Hmm, mau pulang kapan? G-gue gak bisa lama-lama.' Kata gue sedikit ragu, yakali mau ninggalin cewek gitu aja.
‘Oh gitu ya? Yaudah pulang aja duluan gapapa Tara.' Dia meyakinkan, ‘Aku masih ada tugas kantor, harus di e-mail malam ini juga soalnya udah mau lebaran. Aku juga biasa kok ngerjain tugas sendirian disini. Aku bawa motor kok.'
‘Hmm sorry banget ya, Din.'
Dia tersenyum, ‘Thanks ya udah mau dengerin aku. Aku udah lama gak punya temen ngobrol kaya gini. Kamu seru.'
‘Hehehe, anytime, Din.'
‘We should meet again.' Kata dia sambil meminum cola-nya.
Gue cuma senyum sambil melambaikan tangan sambil berlalu pergi.
Dan karena Alfiya, gue meninggalkan cewek jam setengah delapan malam di KFC sendirian.
Ketika gue naek bus, bus terlihat sangat sepi, orang-orang sudah pada mudik tentunya. Gue memilih duduk di barisan sebelah kiri di deretan ke lima bagian pojok dekat jendela. Gue membuka bbm gue, menulis di personal message, ‘Thanks, but I'm so sorry. It doesn't work.'
Tidak lama bang Raden BBM gue, ‘Gimana?'
‘Ya kayak yang gue bilang,' jawab gue.
‘Tapi tadi dia bbm gue bilang kalo nge-date sama lo seru.'
‘Syukurlah :)'
‘Terus lo kenapa? Cantik kan?'
‘Cantik. Cantik banget malah. Tapi ya gitu, Gue keinget mantan gue lagi.'
‘Terus lo ninggalin dia sendirian?'
‘Iya.'
‘Bego, lo.'
Gue memasukan hape gue ke kantong jacket gue. Gue menatap jendela. Melihat pemandangan diluar. Melihat sepi-nya Jakarta. Hal yang sama terjadi pada hati gue. Perbedaannya mungkin cuma satu. Suatu saat Jakarta akan kembali berpenghuni, hati gue mungkin tidak.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Empat
Sepulangnya gue dari blind date, gue keujanan jalan dan basah kuyub banget. Mungkin kalo ada yang ngeliat gue saat itu, gue terlihat seperti tukang ojek payung yang payungnya ketinggalan dirumah.
Sesampainya di rumah, gue mandi dan menghangatkan diri. Baru selesai gue mandi dan masih berbalut handuk, Reta BBM gue minta ditemenin ke “RSCH" di daerah bintaro. Gue meng-iyakan ajakannya kemudian gue ngajak dia untuk janjian di Universitas Budi Luhur. Dan gue pun langsung ganti baju.
Setengah jam kemudian, gue udah sampe di tempat kita janjian buat ketemu. Gue sempet nunggu dia sebentar, dan kemudian dia dateng.
Setelah kami liat-liatan sebentar, gue menaiki dan mengendarai motornya. ‘Mau kemana?' Tanya gue.
‘RSCH, Ra. Lo tau kan?' Tanya dia balik.
‘Kaga, tunjukin aja jalannya.'
‘Oke.'
Hening.
‘Emang siapa yang sakit ta?' Tanya gue lagi.
‘Hah, sakit?' Tanya dia kebingungan.
‘RSCH itu rumah sakit kan?'
‘Itu distro, bego.'
Hening.
Reta ini temen sekelas gue dulu waktu SMK. Dia berhidung pesek dan berjidat lebar. Pernah suatu kali dia berjalan ke arah depan kelas kemudian kesandung dan tak sengaja menyundul guru seni budaya gue hingga harus di opname. Sekarang Reta bekerja di salah satu Puskesmas, mungkin jidatnya dibutuhkan untuk membius pasien dengan cara yang lebih murah.
Oke kembali ke jalanan, di jalan gue baru sadar kalo gue abis ninggalin cewek sendirian di KFC karena gue mau mikir tentang Alfiya, tapi ternyata gue lupa dan malah pergi lagi dan gue gajadi mikir. Otak gue emang perlu ganti oli kayaknya.
Setelah sampai di RSCH, Reta mulai cari-cari baju yang dia incar. Tapi gue yang malah keliatan repot sibuk nyoba-nyobain jaket. Kali aja ada yang nyangkut. Haha
Dan setelah ngubek-ngubek distro, Reta gak nemuin baju yang dia mau. Kita memutuskan untuk ke bintaro plaza dan berakhir sama. Akhirnya kita ke lottemart bintaro. Dan disitu Reta bingung karna toko udah tutup semua. ‘Ini kok tutup semua ya ra?'
‘Iya lah, Ta. Udah jam sepuluh malem siapa juga yang mau buka? Paling toko kafan batik di ujung tuh buat pocong kalo mau kondangan.'
‘Lo gak bilang daritadi.'
‘Gue aja baru liat nih. Hehe.' Kata gue sambil menunjukan jam di hape gue.
Kemudian gue cek hape gue dan gue baru inget kalo gue ada latihan band jam sebelas nanti. Mampus, gue ga mungkin pulangin Reta (beserta motornya) dulu, pasti telat gue. Gue bingung, Temen gue udah pada bawel nanyain gue dimana. Akhirnya gue ajak reta buat latihan.
Latihan gak begitu lancar. Kuku panjang gue menghancurkan permainan gue. Sempet di jutekin sama Cahyun. Gue ini tipe cowok tulen yang gak bisa ngerjain pekerjaan cewek. Termasuk potong kuku. Gue pun kalo ngeliat cowok lagi potong kuku tuh geli aja gitu (ini serius). Makanya semenjak gue gak punya pacar, kuku gue, gue biarin panjang.
Gue pun nganterin Reta (beserta motornya) pulang. Bukan perkara mudah nganterin cewek (beserta motornya yang kalo di starter harus di selak dulu) pulang jam 1 malam. Gue didiemin sama bokapnya, bokapnya udah kenal gue sih. Tapi tetep aja gak enak. Dia sih gak marah sama gue, cuma gatau nasib Reta, mungkin dia dijadiin keset ganjelan standar motor. Mungkin.
Setelah gue pulang sama Ade, kita memutuskan untuk nongkrong dulu. Disitu badan gue udah mulai panas, dan gue pun sukses demam, pala gue yang bagian tengkorang belakang terasa amat sangat sakit. Gue menaikan hoodie gue dan menggigil. Ade sedikit memperhatikan gue, gak lama dia nanya, ‘Kenapa, Bat?'
‘Demam, mungkin efek keujanan tadi.' Jelas gue.
‘Udah makan nasi?' Tanya dia lagi.
‘Udah tadi dikit.'
‘Tapi belom minum obat kan?'
‘Ah? B-belom, De.' Kata gue gugup. Gue melanjutkan, ‘Kita pulang aja yuk.'
Gue takut kalo nanti kita masih disini lama-lama dia bakal bilang, ‘Aku bakal jagain kamu sampe kamu sembuh.' Ya meskipun gue lagi sakit (dan patah hati), gue masih bercita-cita pengen punya cewek bule.
Sesampainya di rumah, gue sahur, gue berusaha makan meskipun mulut gue gak enak. Setelah makan, gue pun duduk lemas sambil merokok. Selang beberapa hisap rokok, ketika gue lagi “narik" asep-nya ke paru-paru gue, tiba-tiba dada gue perih, gue gak bisa tarik nafas panjang. Perih banget. Emang sih udah beberapa hari ini dada gue suka perih atau sesak tiba-tiba, tapi gak pernah se-perih ini. Gue mematikan rokok gue. Gue meminum air putih sebanyak-banyaknya dan gak ngefek, yang ada perut gue kembung. Kemudian gue tiduran, dengan badan menggigil, kepala pusing, dada perih, dan perut kembung, gue cuma bisa meringkuk. Rasanya kayak lagi meluk neraka.
‘Gue harus kuat.' Pikir gue. ‘Ya, meskipun gue sendirian dan lemas tak berdaya gini, gue harus kuat. Gue masih punya cita-cita, gue gak boleh nyerah. Gue masih pengen berenang di Ancol (cetek banget ya cita-cita gue...).' Setelah beberapa kali gue ngeluh, matahari mulai terbit, gue pun tertidur (dengan perut masih kembung).
Dua jam kemudian gue bangun. Monkey, udah susah-susah tidur, terus cuma tidur dua jam. Pala gue kembali sakit, dada gue pun kembali perih, tapi perut gue udah gak kembung lagi. Gue nyoba nahan-nahan sakitnya, gue nonton tivi malah makin sakit. Gue berfikir buat batal puasa dan minum obat, tapi sayang-sayang ini puasa terakhir dan (menurut gue) gue belum pernah batal selama sebulan ini (menurut gue kumur-kumur pake es campur yang gak pake susu itu gak batal).
Masih jam duabelas siang. Dada gue masih perih. Gue pun menelepon salah satu rumah sakit di deket rumah gue. Dan janjian dengan dokter spesialis paru disana. Rada sanksi sebenernya apa gue bisa dapet dokter di hari minggu dan udah mau lebaran gini? Tapi Allah masih mengizinkan gue hidup, gue masih mendapatkan dokter disana, kemudian gue janjian jam lima sore.
Dirumah sakit gue rada celingak-celinguk. Setelah diberitahu harus apa harus apa, gue mengikuti petunjuk resepsionis hingga akhirnya gue duduk didepan ruang dokter spesialis itu. Gue pun disuruh masuk sama suster. Semua berjalan normal dan gak ada yang aneh. Gue di rujuk untuk rontgen dada gue. Ya setelah rontgen, gue nunggu hasilnya sebentar, setelah jadi, gue balik ke ruang dokter gue tadi.
Akhirnya, setelah dokter melihat hasil rontgen gue, gue divonis kena penyakit “pneumonia", ato bahasa Indonesianya disebut, “dada gue nyeri, nyet..."
Intinya paru-paru gue kena infeksi dan meradang. Penyebab utamanya sih ya karna rokok. Dokter masih menjelaskan tentang penyakit gue ini, gue cuma ngelus-ngelus dada gue yang kesakitan. Tadinya sih gue mau ngelus dada susternya, tapi gue takut di omelin, akhirnya gak jadi. Setelah dapet resep obat, gue ke loket administrasi dengan dada yang masih kerasa sakit. Gue kembali mengelus dada gue lagi, bukan karna dada gue yang sakit, tapi karna biaya pengobatannya mahal banget.
Pesan moral: Jaga kesehatan baik-baik, sakit itu mahal, mending duitnya buat nraktir gue..
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
LIMA
Jadi waktu gue abis putus, gue juga baru keluar dari pekerjaan gue. Gue butuh tempat buat refreshing dan buat berfikir tentang hidup gue. Dan saat itu gue lagi sering ngobrol sama temen SMP gue dulu, Danti. Dia ini suka traveling sendirian kemana-mana tapi ikut dari perusahaan tour&travel gitu. Lucu juga anak cewe betah kemana-mana sendirian gak kenal siapa-siapa. Dan akhirnya gue ngajak dia buat traveling lagi. Dengan niatan gue bisa berfikir sendirian berjam-jam. ‘Lo mau kemana?' Tanya dia.
‘Kemana aja asal gue bisa mikir.' Bales gue.
‘Mikir?' Tanya dia bingung
‘Iya gue butuh waktu berjam-jam buat mikir tanpa gangguan.'
‘Hmm, gimana kalo ke karimun jawa? Lo bisa mikir berjam-jam di bis. Pantai-nya juga keren.' Usul dia.
‘Boleh.' Jawab gue singkat.
Selang beberapa jam, dia bilang kalo tiket ke karimun jawa udah full. Akhirnya dia memutuskan untuk ke pulau seribu. Gue mengiyakan. Setelah semua urusan administrasi dll kelar, gue tinggal nunggu waktu buat keberangkatan. Dan gue pun melakukan dua kesalahan yang sangat besar.
1) Gue kembali ketemu sama mantan gue.
Jadi di lebaran ke-5 gue dateng kerumah Alfiya untuk lebaran-an sama keluarganya. Tentu ini akan menghambat proses move on gue mengingat gue udah mempersiapkan proses melupakan dari jauh-jauh hari. Dan yang terpenting, gue takut ketemu sama Alfiya. Ya gue sangat takut untuk ketemu sama dia. Entah, gue ngerasa dia bakal marah sama gue karna kesalahan gue sama dia. Tapi gue mesti ketemu sama orangtua-nya.
Akhirnya dengan membawa silver queen (yang gue rasa bisa untuk meredam amarah-nya), gue memberanikan diri untuk kerumahnya.
Sesampainya gue di rumahnya, gue cuma ketemu sama orangtuanya dan ketiga abangnya, sementara ia masih tidur. Kabar bagus buat gue. Gue ngobrol sama bokapnya, gue sebenernya mau ngobrol banyak sama bokapnya karna gue kangen udah lama gak ketemu, tapi akhirnya obrolan kami jadi canggung.
‘Pa, itu bapa tiap hari naik motor kopling gitu gak capek pa?' Kata gue membuka obrolan.
‘Kan udah biasa, jadinya gak capek.' Kata dia kalem.
‘Pantesan, kalo Ara biasanya tidur pak, jadi kalo tidur gak capek.'
‘Ya emang gitu kan.' Kata dia nanggepin.
Kemudian gue denger suara kaki di tangga. Gue deg-deg'an. Rasanya kaya mau mati. Gue udah memikirkan yang aneh-aneh seperti dia tiba-tiba ngamuk kaya orang yang (katanya) kesurupan yang di trans7 kalo malem itu, kemudian ngomel-ngomel pake bahasa sunda. Tidak beberapa lama dia berdiri disamping gue, gue gak berani ngeliat dia. Dia duduk di samping bokapnya, dia tatap mata gue, gue nunduk, dan dia kembali tidur. Seketika gue merasa lagi di sebuah mobil di taman safari.
Kemudian bokapnya bangun dari duduknya meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Gue mencoba untuk duduk disampingnya, kita saling diam dan saling tatap. Gue kasih silver queen yang tadi gue bawa. Dan dia nyubit pinggang gue kenceng banget (oke, gue rasa silver queen adalah ide yang buruk).
Setelah kita berdua saling maaf-maafan, kita mulai banyak ngobrol lagi dan akhirnya menyambung ke masalah hubungan kita. Semua udah selesai, dan masalah kita udah termaafkan. Akhirnya kita memutuskan untuk silaturahmi kerumah saudara-saudara gue. Intinya kita saling seneng sepanjang hari dan paling bikin gue berkesan dengan hal yang gue kangenin: dia tiduran di punggung gue di motor. Hihi.
2) Gue ketinggalan perahu.
Jadi sepulangnya gue dari rumah pidut, gue mempersiapkan barang-barang yg gue butuhkan untuk nanti pagi. Jadi niatnya jam tiga gue mandi, jam empat gue ketemuan sama danti di Blok M, kemudian jam enam gue udah di perahu, kelar. Dan waktu udah menunjukan jam satu, gue masih bbman ama Danti. Gue nanya, ‘lo gak tidur Dan? Nanti telat lo.'
‘Gue malah takut lo yang telat Bat.'
‘Yaelah, gue gak bakal telat Dan, lo kenal gue kan?'
‘Justru karna gue kenal lo.'
Gue jadi gak mood bbm-an.
Jam 2 gue masih bangun, gue udah mikir setelah pagi ini, gue gabakal menghubungi Pia lagi, gue juga bakal ilangin kontak dengan orang-orang di tempat kerja gue dulu. Gue harus mulai semua dari awal.
Gue ngucek-ngucek mata. Gue liat jam, masih jam 9. Gue nguap dan tidur lagi...... INI KENAPA UDAH JAM SEMBILAN YA?!! Kacau, gue liat hape banyak telpon, sms, dan bbm dari Danti. Nyet, gue nyesek banget. Gue liat jam lagi, gue nyesek lagi. Kampret! Duit gue melayang, dan yang paling penting: Program Move On gue hancur dengan sempurna.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Saat gue menulis ini, gue kembali menjalani hubungan bersama Alfiya.
Jadi, di hari yang sama ketika gue ketinggalan travel, ketika malam-nya, gue kembali bertemu dengan Alfiya. Kita berbicara banyak hal tentang masalah-masalah kita. Dia bilang, udah bukan waktunya lagi untuk dia cari-cari pacar lagi. Dia cuma butuh orang yang bikin dia nyaman sampai tua nanti. Dan kata dia, gue orangnya. ‘Kita akan baik-baik saja selama kita masih memiliki kita, aku percaya itu.' Kata dia. Dan gue sadar kalo dia benar. Gue gak perlu mencari orang lain lagi? Untuk apa gue melupakan orang yang memberikan gue kenyamanan? Toh, awal masalah kita pun asalnya dari gue, gue harusnya memperbaiki demi kebahagiaan kita, bukan meninggalkan. Justru gue akan lebih bodoh lagi kalau meninggalkan dia. Dia selalu ada buat gue, dan kesalahan apapun yang gue perbuat, dia selalu terima. Dia sayang gue apa adanya, bukan ada apanya. Jelas, hal tersebut adalah perbedaan yang sangat besar. Dan dia sering menyadarkan gue banyak hal, hal yang menurut gue sangat sulit, akan dibuat baik-baik saja oleh dia. Contoh ketika gue ngeluh saat gue ketinggalan travel.
‘Kenapa coba aku harus ketiduran? mana pake mimpi segala.' Keluh gue.
‘Gapapa da, lihat sisi positifnya, kamu bisa tidur juga kan akhirnya.' Kata dia lembut. Memang, beberapa hari ini gue susah untuk tidur.
‘Tapi kan aku mau berfikir tenang de. Aku capek.' Keluh gue lagi.
‘Ya gapapa uda, lihat sisi positifnya, kamu sekarang bisa sharing masalah kamu sama aku kan.'
Alfiya emang selalu memandang semua hal dari sisi positif. Mungkin kalau suatu saat nanti kedua tangan dan kaki gue di amputasi, dia bakal bilang, ‘Gapapa da, lihat sisi positifnya, kamu sekarang bisa kemana-mana sambil guling-gulingan, kan.'
Gue melanjutkan keluhan gue,
‘Tapi sayang de uang aku ilang gitu aja.'
‘Uang kan bisa di cari lagi, da.' Kata dia sambil mengelus pipi gue.
Gue melihat matanya dalam-dalam, dan gue tahu, dia benar.
Bagi sebagian orang, pasangan adalah tempat untuk melampiaskan hawa nafsu. Bagi sebagian orang lagi, pasangan adalah alat untuk membayar apa saja yang diinginkannya. Bagi orang lain, pasangan adalah sesuatu untuk dipamerkan. Dan bagi orang yang lainnya lagi, pasangan itu seperti baju, yang bisa diganti kapan saja.
Bagi gue dia adalah rumah. Karena dia adalah tempat gue pulang. Karena seliar-liarnya gue, sebandel-bandelnya gue di luar sana, gue pasti pulang. Dia adalah rumah yang sempurna. Tempat dimana gue bisa istirahat dengan tenang, tempat yang melindungi gue dari gelap, dingin, dan yang terpenting, Menawarkan kenyamanan.
Monday, July 21, 2014
Embun Pagi
Semua hal terlihat normal.
Gue terlentang diatas kasur dan mandangin langit-langit kamar. Orang-orang ramai di tivi untuk menghibur penonton yang sahur saat ini, tapi tidak dengan gue. Bahkan untuk membuat gue tersenyum pun gabisa. Gue masih tetap memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong, berusaha menerima kenyataan dan berharap semua yang terjadi ini cuma mimpi buruk.
Harusnya sekarang ini gue sahur, tapi sekarang pun gue bener-bener gak nafsu buat makan, padahal nenek gue udah ngomel-ngomel nyuruh gue sahur, tapi gue tetep gak bisa beranjak, terlalu sesak rasanya.
Nenek gue tetep maksa gue buat sahur. Dia gak tahu apa yang gue rasa saat ini. Karna mungkin gue terlihat biasa aja.
Padahal, gue baru aja putus.
Di dalam tubuh gue yang biasa-biasa aja ini, gue lagi remuk redam, hancur berkeping-keping, jatuh terlantar. Tapi buat orang lain yang ngeliat, gue terlihat biasa. Karna apa pun masalah kita, serumit dan sekompleks apa pun, orang lain akan tetap jalan dengan hidupnya, seolah tidak mempedulikan. Begitulah.
Gue akhirnya duduk-duduk males di kasur. Earphone yang nyambung ke hape gue ini memainkan lagu "Lebih Indah"-nya Adera.
Gue bengong.
Lagu ini ngebawa ingatan gue ke masa lalu. Tepatnya dua setengah tahun kurang seminggu lalu. Waktu kita masih kelas 2 SMK. Waktu itu baru seminggu gue pacaran sama dia.
Waktu itu kita berencana ke monas.
Gue nunggu dia di depan CBD Ciledug. Karna dulu kita pacaran ngumpet-ngumpet dari orang tua, jadi gue ga bisa jemput kerumahnya dan akhirnya kita janjian disini.
Gue berdiri nungguin dia, gue inget waktu itu gue make celana skinny jeans cewek yang ketatnya bikin titit gue teriak minta tolong dan gue make kaos item polos junkies dan memperlihatkan ikat pinggang gue yang palanya gede bertuliskan 'SEXY'. Didukung dengan poni lempar gue saat itu, gue sukses mendapatkan sertifikat "Alay of the year" saat itu. Konon, anak-anak kecil yang melihat gue saat itu merasa masa depannya bakalan suram dan takkan pernah seindah suara seraknya Aurel.
Setelah gak berapa lama, Dia datang. Menggunakan kerudung abu-abu bermotif bunga dan dress hitam berbintik putih. Dipegangnya tas kecil bewarna putih gading. Dengan jalan nunduk perlahan, dia terlihat sangat anggun. Matanya terlihat sangat teduh sekali saat itu. Dia benar-benar terlihat seperti Mamah Dedeh.
Dia tepat di depan gue sekarang, matanya menatap mata gue.
Dia senyum. Gue cengengesan.
Setelah terdiam beberapa lama, gue berkata, "mau pengajian dimana?".
Kemudian cubitannya sukses mendarat di pinggang gue.
Kemudian kita mulai jalan menuju monas. Kita ngobrol sepanjang jalan, entah apa yang kita obrolin saat itu, namun saat-saat itu terasa sangat cepat. Kita sampai dimonas, muterin kawasan monas sampai 2x karna lupa pintu masuk kedalam monumennya dimana. Banyak hal yang kita lakuin disana, entah kenapa disaat itu sangat gampang buat gue untuk ketawa. Gue ga pernah ngerasa sebahagia itu sebelumnya. Kemudian kita mampir di patung kuda. Tau kan patung diponogoro yang lagi naik kuda ngengkang di depan danau itu? Nah di depannya itu juga ada batu marmer yang cukup tinggi. Kemudian kita duduk diatas situ, tentunya dengan perjuangan yang cukup berat gua gendong Dia keatas situ.
Dan dari atas situ kita bisa melihat keramaian orang-orang yang berada dikawasan monas, dan cuma kita yang berada diatas patung marmer itu. Mungkin orang-orang yang ngeliat kita mikir ngapain itu mamah dedeh sama alay bintaro duduk di situ berduaan? Emang lumayan aneh sih kita duduk disitu, harusnya kita malu. Tapi hati mengalahkan otak, kita ngerasa bodoamat.
Setelah kita mengamati dan mentertawai orang-orang yang terlihat lucu (ya, kita emang doyan ngetawain orang), masih diatas batu marmer depan patung kuda, dengan angin yang berhembus kencang, kita saling tatap. Bergandeng tangan, dan mengucapkan janji-janji kita. Janji-janji yang udah terlupakan.
------------------------------
Balik ke kehidupan nyata.
Gue buka hetset gue, dengan males gue kebawah. Dibawah nenek gue ngomel-ngomel mulu, hffft. Gua cuma makan beberapa gorengan aja, terus gue balik lagi keatas dengan segelas teh hangat.
Disinilah gue berada.
Diatas genteng, memandangi langit kosong sambil mencoba lari dari kenyataan. Hetset gue memainkan lagu 'adelaide sky'-nya Adhitya Sofyan.
Akhir-akhir ini gue seneng ada diatas genteng ini. Tanpa kerjaan, tanpa bacaan, membuat gua berfikir.
Ya, berfikir.
Berfikir tentang hubungan terakhir gue yang baru putus ini. Biasanya, sehabis putus, gue akan bersedih-sedih sejenak lalu perlahan-lahan mengambil serpihan hidup dan ceria seperti dulu lagi. Tapi ini beda, kali ini gue 2,5 tahun pacaran dan putus dengan sukses.
Gue tau, gue harus mencari tau apa yang salah?
Pikiran gue pun kembali ke obrolan dengan Lita tadi malam. Dia bilang dia capek karna udah di sia-sia-in terus sama cowok-nya. Dia ngasih kesempatan berkali-kali ke cowok-nya tapi cowok-nya masih aja ngelakuin kesalahan yang sama. "Sama aja ngomong sama tembok". Kata Lita.
Gue cuma bisa diem.
Gue sadar salah satu hal yang bikin 'Dia' pergi dari gue pun karna hal yang sama kaya Lita ninggalin cowoknya. Udah bertahun-tahun gue buat kesalahan, dan udah bertahun-tahun pula dia kasih kesempatan. Dan ini udah mentok mungkin. Dia udah bisa melewati 'tembok'nya. Dan dia udah nemuin pemandangan indah dibalik 'tembok' itu. Semoga pemandangan itu adalah pemandangan indah yang nyata. Bukan pemandangan yang suatu saat berubah menjadi tembok lainnya. Semoga.
Gue pun gabisa nasehatin apa-apa ke Lita. Dia punya masalahnya sendiri. Cuma dia yang tahu.
Memang menyakitkan, sebesar apa-pun masalah kita, orang-orang lain akan tetap berjalan maju. Tidak ada yang memahami. Walaupun ketika kita cerita, mereka pasti akan bilang, "Gue tau rasanya". Tapi mereka tidak benar-benar tahu. Karna mereka tidak benar-benar berada di posisi kita. Tidak.
Orang-orang lain akan tetap memperlakukan kita seperti orang biasa. Tanpa tau apa yang kita jalani. Tanpa tau apa yang kita alami. Sebesar apapun badai yang ada di hati kita saat ini.
------------------------------
"Ku ingin kau tahu isi hati ku...
Hanya kau lah yang terlarut dalam darahku...
Tak ada yang lain hanya kamu...
Tak pernah ada... takkan pernah ada..."
Geisha.
Jadi keinget beberapa bulan lalu.
Sore itu kita lagi tidur-tiduran sambil berbagi earphone dan nyanyi-nyanyi bareng lewat lagu yang ada di hape gue.
Ketika intro lagu ini, dia nyuruh gue buat nyanyiin lagu ini buat dia. Gua nyanyi sambil natap mata dia. Demi Tuhan, gue nyanyiin ini bener-bener dari hati. Di akhir reff pertama, gue liat mata dia berkaca-kaca. Ketika gue ingin nanya dia kenapa, dia meluk gue kenceng banget. Setelah hening beberapa saat, masih dalam pelukan, dengan suara lirih, dia bilang, "makasih ya ra".
Hening.
Ketika itu jantung gue berhenti berdetak.
-------
Hfft. Gue matiin rokok gue.
Adzan udah berhenti berkumandang. Gue masih duduk disini. Melihat langit fajar yang mulai terang. Dan hubungan kita sudah gelap.
Katanya, yang namanya 'gelap' itu gak ada, yang ada itu kekurangan cahaya.
Mungkin kita udah meredup.
Pada hati.
Pada kepercayaan yang udah lama sekarat, lalu mati diam-diam. Mungkin janji yang kita ucapin dulu bisa dengan gampang dilupakan setelah kita mulai membuat janji yang baru. Janji yang juga tidak bisa di tepati.
Banyak alasan untuk orang putus cinta.
Ketidaksamaan dari apa yang kita beri dengan apa yang kita terima. Masalah eksternal, internal, agama, orang tua, teman, atau pun pihak ketiga. Tapi apa yang salah dengan hubungan kita, gue pengen mengerti.
Dia bilang waktu itu, masalahnya karna kita beda.
Beda.
Beda.
Gue ulangin kata-kata itu sampe udah gak ada artinya lagi.
Gimana perbedaan yang dulu bisa kita hadapi dengan angkuh tapi malah jadi penyebab hancurnya hubungan ini. Mungkin perbedaan sudah lebih kuat dari apa yang kita punya sekarang.
Atau mungkin, tujuan kita yang sudah beda.
Embun pagi mulai membasahi dahi gue. Gue inget ketika gue menyebut dia itu "Dewi Embun" gue. Meskipun dia gak tau knapa dia gua panggil dengan sebutan itu, dia terlihat senang. Asal kalian tahu, setiap pagi, gue hanya merasakan beberapa detik kedamaian karna embun. Ketika gue ada di deket dia, gue ngerasa kedamaian disetiap detiknya. Dia Dewi Embun gue.
Hft, entah knapa semua hal berhubungan sama dia. Udah terlalu banyak yang kita jalanin dan semua harus berakhir sia-sia.
Earphone gue memainkan lagunya All American Rejects yang 'It Ends Tonight'.
"When darkness turn to light, it ends tonight...
It ends tonight"
Batre di hape gue udah tinggal 11%. Orang-orang udah mulai beraktifitas di bawah sana. Semoga, dengan berakhirnya lagu ini....
Aku udah bisa ngelupain kamu.
Monday, July 7, 2014
Abdur: "Indonesia Bagaikan Kapal Tua".
Sebagai anak nelayan dari Lamakera,
Saya melihat Indonesia itu seperti kapal tua,
yang berlayar tak tahu arah.
Arahnya ada, hanya nahkoda kita yang tak bisa membaca.
Mungkin dia bisa membaca,
tapi tertutup hasrat membabi buta.
Hasrat hidupi keluarga, saudara, kolega,
dan mungkin... istri muda.
Indonesia itu memang seperti kapal tua,
Dengan penumpang berbagai rupa.
Ada dari Sumatera, Jawa, Madura, Sumbawa,
hingga Papua. Bersatu dalam Nusantara.
Enam kali sudah kita ganti nahkoda,
tapi masih jauh dari kata sejahtera.
Dari dulu, dari teriakan kata, "Merdeka",
sampai sekarang, "Folbek dong kaka".
Nahkoda Pertama,
Sang Proklamator bersama Hatta.
Membangun dengan semangat pancasila
dan terkenal di kalangan wanita.
Ia pernah berkata,
mampu guncangkan dunia dengan 10 pemuda,
tapi itukan masih kurang satu untuk tim sepakbola.
Kalau begini kapan baru kita ikut Piala Dunia?
Nahkoda Kedua, 32 tahun berkuasa.
Datang dengan program bernama "Pelita",
Bapak pembangunan bagi mereka,
bagi saya tidak ada bedanya. TIDAK ADA!
Penumpang bersuara, Berakhir dipenjara,
atau hilang di lautan tanpa berita.
Beda dengan "Dodit Mulyanto", hanya dengan modal biola saja,
Terkenal di Indonesia.
Nahkoda Ketiga, Sang wakil yang naik tahkta.
mewarisi pecah belahnya masa orba.
Belum sempat menjelajahi samudra,
Ia terhenti di tahun pertama.
Dibanggakan di eropa,
Dipermainkan di Indonesia.
Jerman dapat ilmunya, kita dapat apa?
Antrian panjang nonton Film-nya.
Nahkoda Selanjutnya, Sang kyai dengan hati terbuka.
Ia terhenti dalam sidang istimewa,
ketika tokoh-tokoh Reformasi berebut Istana.
"Potong bebek saja! Gitu aja kok repot". Kata Gusdur featuring Ursula.
Nahkoda Kelima,
Nahkoda pertama seorang wanita.
Dari tangan ibu-nya bendera pusaka tercipta.
Kata bapaknya, "Berikan aku sepuluh pemuda".
Tapi apa daya itu di luar kemampuan ibu ber-anak tiga.
Kalau mau sepuluh pemuda,
ambil saja dari followers-nya 'Raditya Dika'.
"Cemungudh ea Qaqa".
Nahkoda Keenam Bagian a,
Kenapa bagian a?
sengaja, biar tetap pada rima "a".
Dua pemilu mengungguli perolehan suara
Dua kali disumpah atas nama garuda.
Tapi itu hanya awal cerita,
Cerita panjangnya terpampang di banyak media.
Lapindo, Munir, Century, Hambalang. Kami menolak lupa!
Kini Ia telah hadir di sosial media,
mungkin bermaksud mengalahkan "Raditya Dika".
Setelah empat album yang entah seperti apa,
mungkin dia akan membuat Film, "Malam Minggu Istana".
----------------------------------------------------
Teman-teman, Kini 2014 telah tiba,
Saatnya kita kembali memilih nahkoda,
Pastikan Dia yang mengerti 'Bhineka Tunggal Ika',
Bukan boneka milik Amerika.
Dia yang mengerti suara kita,
suara kalau Indonesia bisa.
Bukan suara, "Aitakata, eaa eaa"
Atau, "Folbek Dong Qaqaaaa".
Ini cerita tentang kapal tua kita.
Ada yang tidak percaya?
Ada?
SUDAH KALIAN PERCAYA SAJAAA!
Wednesday, June 18, 2014
Cerpen: Adriana
Sesosok wanita datang. Sosok manis keturunan belgia dengan tinggi sekitar 165cm, berkulit putih dengan rambut shaggy lurus se-bahu berwana coklat. Dia adalah Adriana. Dia terlihat begitu gelisah, sedih, dan bingung. Ia memasuki rumah itu perlahan, rumah yang sudah 6 bulan tidak ia datangi. Dengan perlahan ia memasuki rumah itu.
"Assalamualaikum". Ucap-nya pelan namun cukup untuk membuat semua orang yang ada diruangan itu menoleh kearahnya.
Ia merasa canggung. Ia masuk secara perlahan menuju sosok yang terbaring ditengah kerumunan. Mata semua orang tertuju padanya, ada yang terlihat heran, ada yang terlihat bertanya-tanya, ada pula yg terlihat kesal. Kemudian Ia duduk, pandangannya tak lepas dari sosok yang berbaring itu. Sosok mayat dengan jahitan di perut dan dadanya. Begitu terkejut ia dengan sosok itu, antara percaya tak percaya, penyesalan tampak diwajahnya. Ia terdiam, semakin lama ia melihat sosok itu, semakin terhimpit paru-parunya, semakin sesak dadanya, semakin besar penyesalannya. Ia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Mencari udara segar, menyalakan rokoknya. Tak terasa matanya mengeluarkan air mata, tapi ia tetap berusaha tegar. Namun Ia tetaplah wanita, airmatanya tetap mengalir deras melewati pipinya, meski tanpa isak tangis, meski tanpa suara.
"Adriana". Sapa seseorang lelaki hitam manis bertubuh kurus dari belakang.
"Radit". Adriana menoleh kearahnya sambil menghapus airmatanya. "Kenapa dit?"
"Lo kemana aja na? Virgo nungguin lo lama di tempat pertama kali kalian ketemu. Kemana aja lo?"
"Maaf Dit, gue ngaku kalo gue salah. Gue nurutin gengsi gue. Tapi gue gak tahu kalo kejadiannya bakal kaya gini dit." Adriana mulai mengeluarkan airmata-nya lagi. "Memang, gimana kejadiannya dit? Kenapa bisa begini?".
"Gue gatau na".
"...." Hening.
"Kamu yang bernama Adriana?" Tanya seseorang berseragam polisi yang berada tak jauh darinya.
"Iya pak, kok bapak bisa kenal saya?" Tanya Adriana dengan wajah heran.
"Siapa yang tak kenal kamu saat ini?" Balas polisi itu dengan senyum. Meski tetap terlihat kepahitan di wajahnya.
"Bapak kenal dengan Virgo?".
"Saya yang menemani Virgo menunggu kamu."
"Hah? Jadi bapak mengetahui semuanya?"
"Iya, saya sangat terharu dengan perjuangannya. Kenapa kamu tak kunjung datang?"
"........." Adriana terdiam.
"Maaf membuat kamu semakin sedih nak."
"Tak apa pak, bisa bapak ceritakan apa yang terjadi?"
"Jadi, Semua dimulai dari...."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Lo yakin mau ngelakuin ini Vir? Udah gila lo?" Tanya Radit dengan kaget setelah Ia mengetahui apa yang Virgo ingin lakukan.
"Iya Dit. Semoga gue bisa ketemu sama Dia lagi." Kata Virgo.
"Tapi dia kan diluar kota Vir. Gimana lo bisa ketemu dia? Gak mungkin dia tahu lo nungguin dia disitu."
"Gak ada salahnya kalo gua coba dulu kan?". Kata Virgo Kekeh. "Lagi pula gua Laki-laki, Udah 19 tahun. Gua bisa jaga diri gua sendiri".
"Hft, Dasar keras kepala". Radit menyerah dengan sikap sahabatnya itu. Ia pun sebenarnya percaya jika Virgo bisa menjaga dirinya baik-baik. "Kapan lo mau berangkat?"
"Sekarang".
Radit mengacak-acak rambutnya sendiri.
-------------------------------------------------------------------------
Virgo berjalan kaki menuju pertigaan Sevel Senayan. Disitulah tempat pertama kali Virgo dan Adriana bertemu. Iya, dia akan tinggal berhari-hari disitu, dia membawa kantung tidurnya dan meletaknyannya disudut jalan. Ia mulai mengambil foto Adriana dan berdiri dipinggir jalan. Ketika ada orang lewat, ia akan berkata, "Maaf mengganggu, jika kamu melihat wanita ini, tolong katakan saya ada disini ya". Sambil tersenyum. Reaksi orang-orang pun berbeda-beda. Ada yang kaget, ada yang tak peduli, ada pula yang tersenyum bahkan ada satu orang mengajaknya makan hanya untuk sekedar ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Waktu sudah larut malam, jalanan pun sudah mulai sepi. Virgo menata kantung tidurnya di sudut jalan, kemudian Ia berbaring dan menatap foto yang Ia genggam. Dada-nya serasa sesak. Nampak penyesalan diwajahnya. Ia pun menangis sampai tertidur.
------------------------------------------------------------------
"Bangun kau! Memangnya ini rumahmu? hah?!" Bentak seorang polisi membangunkan Virgo yang tidur di sudut jalan.
"Maafkan saya pak." kata virgo sambil merapikan kantung tidurnya.
"Ikut saya ke kantor." Polisi tua berperawakan hitam kekar yang gagah dan tampan itu menariknya.
Dikantor polisi virgo disuruh mandi dan di beri sarapan (lah kok enak ya..), kemudian Ia diajak berbicara oleh polisi tersebut.
"Baru pertama kali saya melihat ada gelandangan tidur disitu, kamu tahu kan itu bukan rumah nenek mu?" Sang polisi membuka pembicaraan.
"Tahu pak, tapi saya bukan gelandangan."
"Lalu kamu ngapain disana?"
"Saya menunggu seseorang pak".
"Menunggu? Sampai tertidur? Siapa yang kau tunggu?"
"Mantan pacar saya pak. Saya memang tidak janjian dengan dia, tapi jika suatu hari nanti dia kangen sama saya dan mulai menanyakan saya ada dimana, dia pasti akan ke sudut jalan itu pak, tempat pertama kali kami bertemu dan Ia nantinya akan menemukan saya disana pak. Jadi, saya tidak akan kemana-mana pak. Saya akan tetap disitu." Ucap Virgo.
"Sudah gila ya nak? segitunya? knapa tidak kau temui saja ketempat dia berada sekarang?" Kata polisi itu terheran-heran.
"Saya tidak tahu sekarang dia ada dimana pak. Yang saya tahu, dia pasti akan datang kesini pak. Pasti."
"Baru pertama kali saya menemui orang segila kamu, siapa nama mu?"
"Virgo pak."
"Oke, Virgo. Terserah kamu mau disana sampai kapan. Asal jangan membuat onar. Saya yakin kamu gak akan lama disana."
"Oke pak........"
"Ferdinand" kata polisi itu sambil menunjuk name tag di dada-nya
"Oh, Oke pak Ferdinand, terima kasih banyak." Ucap Virgo sambil tersenyum. "Ohiya pak, kalau Pak Ferdi melihat wanita ini, tolong katakan saya ada dimana ya pak." Ucap Virgo sambil menunjukan foto Adriana.
"Iya-iya, sudah sana, saya mau lihat sampai kapan kamu bertahan".
"Hmm, Iya pak" ucap Virgo sambil berjalan keluar ruangan.
"Hei, berapa umur mu?" Pak Ferdi bertanya lagi. Nampakya ia mulai tertarik dengan kelakuan pemuda ini.
Virgo hanya menoleh dan berkata, "19 Pak." Lalu tersenyum.
Pak Ferdinand menggaruk-garuk kepalanya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pak Ferdinand memperhatikan Virgo dari pos seberang jalan tempat Virgo berdiri. Sudah dua hari ini polisi itu lebih memilih tidur di pos jaga-nya. Selain karna Ia sedang ada masalah dengan istrinya, Virgo adalah alasan lainnya mengapa ia tetap disitu. Ia memperhatikan Virgo yang tak pernah lelah menanti mantan kekasihnya itu. Sementara itu, sudah larut malam dan Virgo terduduk di kantung tidurnya sambil memasang earphone di telinganya sambil memandang foto mantan kekasihnya itu. Rasa rindu benar-benar sudah menghimpit paru-parunya, kehilangan tulang rusuk memang membuat tubuh terasa tak berdaya. Virgo masih sibuk membayangkan kenangan-kenangan Dia dulu bersama Adriana. Terasa indah memang, namun menyakitkan jika sadar kalau kenangan itu tlah sirna. Ia ingat ketika Ia masih SMK dulu pernah hujan-hujanan sambil jalan kaki melewati SMA lain lalu di cie-cie-in oleh anak-anak SMA situ. Ia ingat ketika mereka pulang PKL naik bis berdua dan bercanda sampai seluruh isi bis melihat ke arah mereka. Ia ingat masa-masa itu, Ia ingat semuanya. Tertanam diotaknya. Semakin digali, semakin sesak rasanya. Ia tak kuat menahan airmatanya.
"Hei." Seseorang menepuk pundaknya, membuyarkan lamunannya.
Ia menoleh, Ia melihat Pak Ferdinand berdiri disampingnya membawa bungkusan dari Burger King. "Nanti saja menangisnya, ayo makan." Kata pak Ferdinand sok cuek sambil duduk disamping Virgo dan membuka bungkusan itu.
"Eh pak. Siapa yang nangis pak? hehe." Kata Virgo cengengesan. "Kok bapak belum pulang?"
"Alah, Bapak tahu dek, bapak dari tadi ngeliatin kamu. Knapa sih kamu nangisin orang yang gak mikirin kamu? masih banyak yang bisa kamu lakuin diumur semuda kamu." Kata polisi itu sambil membuka bungkus burger miliknya.
"Saya gak tahu harus apalagi pak, seluruh masa depan saya saya rancang sama dia. Ketika saya berencana mengakhiri hidup saya, dia datang dan memberikan saya harapan serta tujuan untuk melanjutkan hidup."
"Lalu, kenapa kalian berpisah?"
"Dia memutuskan untuk pergi pak. Salah saya memang, karna telah membuat kesalahan yang berulang-ulang dan menganggap semua itu akan baik-baik aja. ternyata semuanya gak sesuai sama apa yang saya fikirkan. Dan hal ini benar-benar memukul saya hingga saya sadar."
"Sadar akan apa?" Polisi itu mencondongkan tubuhnya kearah Virgo, dia terlihat tertarik dengan obrolan ini.
"Sadar jika kita jangan pernah menyia-nyiakan seseorang. Suatu saat orang akan lelah jika kita terus-terus menaruh beban pada dirinya. Dan ketika dia lelah, kita akan sadar, betapa tak bergunanya kita tanpa dia. Banyak hal yang lebih penting dari keegoisan kita. Karna jika kita mengagungkan keegoisan kita, kita akan kehilangan orang yang telah menyayangi kita. Hft, bahkan disaat dia meninggalkan saya pun, dia tetap memberikan saya pelajaran. Dia benar-benar yang terbaik buat saya. Dan akan selalu begitu." Ucap Virgo sambil mengehela nafas. Rasa nyeri menghampiri jantungnya lagi ketika Ia sadar ia telah kehilangan orang yang sangat berharga itu.
Pak Ferdinand tertunduk diam, Ia membayangkan apa yang telah Ia lakunan terhadap istrinya. Ia sering seenaknya dan merasa bosan dengan istrinya, makanya Ia selalu mencari masalah agar bisa terhindar dari istrinya itu. Kini ia sadar betapa tak bergunannya Ia tanpa istrinya tersebut. Ia takkan bisa mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan istrinya. Ia membayangi wajah lelah istrinya setelah seharian mengerjakan kegiatan rumah tangga. Hatinya terasa nyeri.
"Tidur pak?" Virgo gantian mmbuyarkan lamunan polisi itu.
"Eh, Enggaklah. Cepat habiskan makananmu, nanti saya ingin pulang kerumah."
"Oh, oke pak."
Mereka kembali makan dengan lamunan-lamunan di otak mereka masing-masing.
Hening.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
"Itu cowok yang selalu ada di deket sevel senayan siapa sih? yang megang foto cewek sambil nanya tentang keberadaan cewek itu?" Seorang wanita yang sedang duduk di sevel dekat tempat Virgo berdiri meng-tweet tulisan tersebut.
Mention datang dari sejumlah followersnya yang pernah melihat bahkan pernah ditanya sama Virgo. Kemudian mulai ramai orang-orang yang berkicau tentang Virgo di twitternya. Seketika hari itu juga, virgo menjadi trending topic nomor satu di twitter, sampai ada yang diam-diam mengambil gambar Virgo lalu di twitpic. Virgo menjadi sosok yang terkenal. Media massa pun mulai tertarik dengan Virgo hingga mereka sampai datang ke tempat Virgo menunggu kekasihnya itu.
"Sedang apa kamu disini?", "mau sampai kapan kamu disini?", "Apa yang kamu tunggu?", Rentetan pertanyaan dari berbagai media massa menghampiri Virgo. Sudut jalan telah menjadi ramai sekarang dengan kerumunan masyarakat yang penasaran dengan sosok pemuda yang diperbincangkan oleh banyak orang.
Virgo hanya diam, ia tak menjawab rentetan pertanyaan yang dilontarkan media massa. Ia hanya memandang ke satu kamera, dan berkata, "Hai, Saya Virgo. Ini Adriana. Jika diantara kalian ada yang melihat wanita ini, tolong bilang sama dia kalo saya menantinya disini." kata Virgo sambil menunjukan foto Adriana ke kamera dan ia melanjutkan, "Adriana, jika kamu lihat ini, aku cuma mau bilang, aku gak akan kemana-mana.".
-------------------------------------------------------------------------------------------
"Dasar orang gila". Kata seseorang wanita di depan televisinya. Dilayar terlihat wajah Virgo.
"Heh, knapa sih dek marah-marah sendiri di depan Tivi?" Kata seorang wanita lainnya yang sedang sibuk memasak.
"Liat aja tuh di tivi, nekat banget sih tuh orang". Kata wanita itu dengan nada kesal.
"Oh dia, samperin lah, dia udah berhari-hari loh disitu nungguin kamu".
"Enggak lah kak, ngapain? Dia aja udah jahat sama aku, gak pernah ngasih kabar, eh ternyata deket sama cewek lain. Biarin aja lah."
"Tapi dia keliatan nyesel banget loh Na. Buktinya aja dia sampe desperate gitu nyariin kamu. Namanya manusia pasti kan buat salah, kakak yakin dia sayang banget sama kamu." Kata wanita yang sedang memasak itu yang ternyata adalah kakak dari Adriana.
"Biarlah, Gak peduli lagi aku kak." Kata Adriana sembari meninggalkan ruangan tivi dan masuk ke kamarnya.
"Jangan sampe nanti kamu gantian yang nyesel". Kata kakaknya santai.
"Huh", Adriana menutup pintu kamarnya.
"Hmm, knapa sih Virgo sampe segitunya? Masa iya dia nyesel? tapikan dia udah jahat banget sama gue. Lagi juga ngapain sih pake ada media massa yang nyorot dia? kurang kerjaan banget!". Kata Adriana dalam hati. Ia sudah gak peduli sama Virgo, tapi perasaan sayang gak bisa hilang begitu aja. Terbesit fikiran untuk menemui Virgo, namun gengsinya lebih besar. Dasar Wanita.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Virgo bersandar di tembok, waktu sudah hampir jam satu pagi, dan Ia masih ada disudut jalan. Jalanan hari itu sepi, pak Ferdinand sudah jarang menemani Virgo. Ia lebih memilih pulang dan bercengkrama dengan istrinya.
Virgo sendirian bersandar sambil menatap foto Adriana. Terlihat keputusaasaan di wajahnya, Ia mendengarkan lagu sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba...
BRAAAAKK!!!
"HAAH!" Seseorang laki-laki di dalam mobil Honda City nampak kaget. Didepannya terlihat seorang pemuda yang terhimpit mobilnya dan sudah berlumuran darah. Seketika kantuk hilang di wajahnya. Ia memundurkan mobilnya kemudian menghampiri pemuda tersebut. Pemuda tersebut meringis kesakitan, Ia tak mampu untuk teriak kesakitan saking kagetnya. Paru-paru dan jantungnya rusak karena tergores oleh serpihan tulang rusuknya yang hancur, isi perutnya pun sudah hancur akibat terhimpit mobil, dari mulutnya keluar banyak sekali darah. Tanpa fikir panjang, Ia langsung membawa Virgo ke rumah sakit terdekat dan Virgo langsung di tangani di Unit Gawat Darurat. Laki-laki itu merasa menyesal karna telah tertidur di dalam perjalanannya.
Setelah agak lama, Sang dokter keluar ruangandan langsung dihampiri oleh laki-laki tersebut.
"Gimana keadaan pasien dok?" Tanya laki-laki itu panik.
"Sebelumnya jika boleh tahu, anda siapa-nya pasien ya?"
"Saya yang menabraknya dok, gimana keadaannya?"
"Mohon maaf, sang pasien sudah tak bisa terselamatkan lagi nyawanya, dia kehilangan banyak sekali darah, dan beberapa organ tubuhnya juga sudah hancur. tepat jam setengah dua tadi Ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ini handphone si pasien, tadi ada di saku celana si pasien. mohon untuk hubungi keluarganya. Permisi".
Laki-laki itu terduduk lemas, Ia mulai mencari kontak orang tua Virgo, tangannya gemetar hebat menyadari apa yang telah Ia lakukan. Ia mulai menghubungi ibu-nya Virgo.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Lalu apa yang terjadi sama laki-laki yang menabrak Virgo pak?" Adriana mulai mengeluarkan air matanya lagi setelah mendengar cerita pak Ferdinand.
"Ia sedang di proses di kantor polisi akibat kelalaiannya".
"Ayo bersiap, Virgo akan segera dimakamkan, lo bawa mobil gue aja na." Radit tiba-tiba datang.
"yuk-yuk-yuk". Kata pak Ferdinand.
Proses pemakaman begitu mengharukan, banyak sekali orang yang datang ke pemakaman itu. Ya, setelah media massa meliputnya beberapa waktu lalu, muncul banyak orang yang bersimpati atas "kegilaan" Virgo. Isak tangis terdengar di pemakaman itu, bahkan langit pun mulai menunjukan kesedihannya, rintik-rintik hujan mulai jatuh bergantian. Sang Ibu tak kuat menahan kesedihannya sampai pingsan, sang Ayah dengan sigap membopongnya. Pak Ferdinand mulai mengeluarkan airmatanya lagi. Ia memeluk erat istrinya, nampaknya sejak Virgo menceritakan tentang kisahnya itu, Pak Ferdinand jadi sadar akan pahitnya kehilangan. Sekarang Ia pun merasakan kehilangan orang yang Ia kagumi. Virgo.
Kerumunan orang mulai membubarkan diri, hanya tinggal Adriana sendiri. Masih menangis. Penyesalan yang Ia rasakan semakin dalam. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang tak menemui Virgo. Ia merasa jika Ia menemui Virgo, kejadian ini tak akan terjadi. Namun takdir berkata lain, semua sudah sesuai sama rencana yang maha kuasa.
Sulit memang jika Tuhan sudah punyai keinginan, Dia tak pernah bisa bersabar. Dan sukar bagi mu untuk menang, saat kau berurusan dengan takdir. Karna takdir tak pernah bisa menunggu. Penyesalan tetap menjadi penyesalan. Yang dirasakan Adriana akan terus terbawa di dalam dirinya sampai Ia menghembuskan nafas terakhirnya. Semoga Adriana dikuatkan hatinya, dan semoga Virgo melihat penyesalan Adriana. Agar Ia tenang di alam sana, atau di kehidupan selanjutnya. Tamat.
R.I.P
Virgo Ibrahim (28 Juni 1995 - 21 Januari 2015)
Tamat.